PERSKPKTIPIKOR.COM, Jakarta – Setelah ramai dikritik publik mengenai sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah berniat mengecilkan peran pers. Menurut Meutya, hubungan Komisi I DPR dengan Dewan Pers selalu sinergis dan saling melengkapi.
“Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I untuk mengecilkan peran Pers. Hubungan selama ini dengan mitra Komisi I yaitu Dewan Pers sejak Prof Bagir, Prof Nuh, dan Alm Prof Azyumardi adalah hubungan yang sinergis dan saling melengkapi termasuk dalam lahirnya Publisher Rights,” ujar Meutya, melalui keterang tertulisnya pada Kamis, 16 Mei 2024.
Meutya menjelaskan, saat ini belum ada revisi UU Penyiaran yang resmi, melainkan yang beredar adalah draf yang kemungkinan muncul dalam beberapa versi dan masih sangat dinamis. Dia mengakui bahwa penulisan draf tersebut belum sempurna dan cenderung multitafsir. Oleh karena itu, Komisi I DPR RI membuka ruang seluas-luasnya bagi masukan dari publik.
“Tahapan draft revisi UU penyiaran saat ini masih di Badan Legislasi, yang artinya belum ada pembahasan dengan pemerintah. Komisi I membuka ruang seluas luasnya untuk berbagai masukan dari masyarakat dan akan diumumkan ke publik secara resmi,” imbuh dia.
Meutya lalu menuturkan, Komisi I DPR telah menggelar rapat internal pada Rabu, 15 Mei 2024. Hasil dari rapat tersebut adalah kesepakatan Panja Penyiaran DPR untuk mempelajari lagi masukan dari masyarakat terkait revisi UU Penyiaran. Komisi I berkomitmen untuk terus membuka ruang luas bagi berbagai masukan, mendukung diskusi dan diskursus untuk revisi UU penyiaran sebagai bahan masukan.
Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran saat ini memang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Banyak pihak yang khawatir revisi ini akan mengancam kebebasan jurnalis dan ruang digital. Draf revisi UU Penyiaran tertanggal 27 Mei 2024 yang berisikan 14 BAB dan total 149 pasal, mendapat sorotan khusus pada beberapa pasal yang dianggap bermasalah.
Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c, misalnya, dikritik karena dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers. Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, yang selama ini merupakan tugas Dewan Pers sesuai dengan Undang-Undang Pers.
( Amad Ma’muri )